Selamat Datang.......

Ini adalah ruang terbuka bagi setiap orang yang yang tertarik, berminat atau bahkan terganggu dengan pelayanan publik yang diterimanya.
Kirimkan komentar, artikel, opini atau bahkan curhat anda di halaman ini.
Nikmati dan rasakan kebahagiaan berbagi, sehingga bersama-sama kita dapat mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.
Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada memaki dalam kegelapan...... ?

Saturday, February 24, 2007

KOMPENSASI DAN PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK

Mungkin Wakil Presiden Jusuf Kalla tak pernah menyangka kalau gagasan pemerintah untuk memberikan uang kompensasi BBM harus memakan korban jiwa. Seperti diketahui, Saman, Ketua RT di Dusun Benit, Kabupaten Bungo, Jambi tewas ditikam warga yang kecewa atas tidak meratanya pembagian uang kompensasi yang dikenal dengan Bantuan Langsung Tunai (Kompas, 24 Oktober 2005)Bantuan Langsung Tunai (BLT) kini menjadi isu
panas yang terus bergulir. Pemberian subsidi berupa bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per kepala keluarga miskin sebagai kompensasi atas kenaikan BBM menjadi warta yang dominan di berbagai media massa.

BLT yang dipayungi oleh Inpres No 12/2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Miskin yang dikeluarkan 10 September 2005 kabarnya adalah “utang lama” pemerintah terkait program kompensasi kenaikan BBM 1 Maret 2005 yang lalu. Bukan bagian dari kenaikan harga BBM 1 Oktober, walau waktu pelaksanaannya bersamaan. BLT tertunda karena berbagai alasan teknis dari pemerintah (Republika,12 Oktober 2005).

Begitu hebohnya kekisruhan penyaluran BLT ini sehingga hal tersebut mengalihkan perhatian dari upaya-upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat miskin yang sebelumnya menjadi fokus dana kompensasi BBM. Sebelumnya, pemerintah selalu menggembar-gemborkan pentingnya mencabut subsidi yang berakibat pada kenaikan BBM
dikarenakan selama ini subsidi dinikmati oleh mereka yang cukup mampu. Daripada mensubsidi mereka yang kaya, akan lebih baik bila dananya digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada kaum miskin.

Argumentasi inilah yang hampir selalu keluar dari pejabat pemerintah. Lalu, munculah berbagai program kompensasi BBM, yang fokusnya lebih banyak diberikan pada upaya peningkatan pelayanan publik antara lain pendidikan, kesehatan, infrastruktur pedesaan dan pemberdayaan ekonomi.

Kesalahan Paradigma
Sepintas, berbagai program kompensasi ini sangat baik, karena berniat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat miskin, yang selama ini relatif sulit menikmati adanya yang memadai. Tapi justru dari sini sebenarnya kesalahan itu bermula. Upaya-upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat miskin tidak didasarkan kepada kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Akses masyarakat miskin terhadap pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan yang selama ini terabaikan baru menjadi perhatian utama setelah pemerintah mengurangi subsidi yang berakibat pada kenaikan harga BBM.

Dengan kata lain, upaya peningkatan pelayanan publik kepada kaum miskin hanya menjadi “penebus dosa” karena telah membuat mereka menderita dengan kenaikan BBM. Efek dominonya adalah meningkatkan berbagai harga kebutuhan pokok dan semakin memiskinkan kaum tak berpunya. Lebih buruk lagi, muncul anggapan bahwa dana kompensasi merupakan justifikasi pemerintah perihal pencabutan subsidi, tujuannya agar rakyat tidak menolak kenaikan harga BBM.

Sebagaimana arti kompensasi itu sendiri, maka upaya pelayanan kepada masyarakat, terutama kalangan miskin juga tak lebih dari sekadar “pengalihan” atau “ganti rugi” dari biaya yang dikeluarkan untuk subsidi BBM. Bahkan muncul argumentasi lain dari pemerintah bahwa untuk mencabut subsidi dapat dilakukan dengan penghematan anggaran. Karena itu, tidaklah heran bila dana untuk peningkatan pelayanan ini juga akan
dilakukan sehemat mungkin.

Implikasinya, penentuan kelompok masyarakat miskin yang berhak menikmati kompensasi sudah ditentukan jumlahnya. Akibatnya, kondisi riil di lapangan tak dapat diakomodasi dengan alasan jatah sudah ditetapkan. Belum lagi adanya kesalahan atau penyelewengan dalam pendataan dan tidak mempertimbangkan kemunculan kelompok masyarakat miskin baru yang tercipta karena kenaikan harga BBM. Akibatnya, muncul banyak keluhan masyarakat miskin yang tak memperoleh asuransi kesehatan gratis, dan juga biaya sekolah yang kabarnya gratis ternyata masih juga harus membayar
biaya ini dan itu.

Bila ditelusuri, banyak warga yang mengeluh tak memperoleh asuransi kesehatan gratis, dikarenakan setiap daerah sudah ditentukan jatah asuransinya. Warga miskin yang berhak memperoleh asuransi kesehatan yang preminya dibayar dari subsidi BBM ini
sudah ditentukan jumlahnya, dan tak dapat melebihi kuota yang ditetapkan. Sementara alokasi dana sekolah gratis yang ditetapkan ternyata tak cukup memadai dibanding biaya-biaya riil yang dikeluarkan selama ini.


Kualitas Pelayanan
Berbagai keluhan mengenai pelayanan publik ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum program kompensasi BBM diluncurkan, keluhan ini sudah muncul, namun tak pernah mendapatkan penyelesaian yang tuntas. Kondisi ini bahkan lebih parah dialami oleh kalangan masyarakat miskin. Meski tak puas atas pelayanan yang diterimanya,
namun warga miskin lebih banyak pasrah.

Penelitian PATTIRO terhadap warga masyarakat miskin (2004) memperlihatkan bahwa masyarakat enggan mengajukan keluhan mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan karena khawatir hal itu akan berdampak buruk kepada mereka. Terutama menyangkut perbedaan perlakuan kepada anaknya yang bersekolah atau tidak dilayaninya mereka oleh
petugas puskesmas.

Akibatnya, mudah diduga bila selama ini aparat penyelenggara pelayanan merasa tak ada masalah dengan pelayanan yang mereka berikan. Apalagi bukan cerita baru, bila aparat penyelenggara pelayanan tidak memiliki orientasi untuk memberikan pelayanan yang terbaik.

Penelitian Pusat Studi dan KependudukanUniversitas Gajah Mada, Yogyakarta menunjukkan
bahwa bagi aparat, yang menjadi acuan pelayanan adalah petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk atasan, bukan kepuasan masyarakat. Bahkan prinsip konsumen adalah raja yang berlaku di sektor swasta dianggap tak layak diterapkan untuk pelayanan publik,
karena aparat tidak hidup dari masyarakat. Aparat penyelenggara juga menganggap tak memiliki kaitan langsung dengan masyarakat. Keberadaan mereka ditentukan oleh pemerintah, bukan masyarakat(PSPK, UGM: 2000).

Bila selama ini keluhan masyarakat, biasanya disampaikan oleh mereka yang cukup mampu dan berpendidikan saja, tak membuat aparat penyelenggara bergeming, apalagi kalangan miskin yang selama ini dipandang sebelah mata, tentulah lebih sulit lagi keadaannya. Karena itu selain masalah dana, perilaku aparat penyelenggara pelayanan publik juga mesti dibenahi, agar program kompensasi yang diniatkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat miskin dapat terealisasi dengan baik.

Kemauan Pemerintah
Kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan publik secara merata dan berkualitas haruslah menjadi perhatian utama pemerintah saat ini. Pemberian kompensasi akibat kenaikan harga BBM bukanlah upaya pengalihan atau justifikasi pemerintah, tetapi harus jadi momentum untuk peningkatan pelayanan publik. Dan pemerintah harus menjamin pelayanan publik yang dapat diakses semua kalangan masyarakat.

Momentum ini harus digunakan semaksimal mungkin, karena berbagai kalangan sedang sibuk membincangkan nasib masyarakat miskin menyusul kenaikan harga BBM. Untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan saja sudah berat bagi mereka, apalagi biaya kesehatan dan pendidikan atau pelayanan sosial lainnya. Karena itu, kemudahan akses dan pelayanan publik yang berkualitas terutama di bidang pendidikan dan kesehatan perlu menjadi prioritas, khususnya bagi warga masyarakat miskin yang selama ini terpinggirkan dalam pelayanan.

Masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan program kompensasi BBM di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, seperti salah sasaran atau kurang berdampak langsung pada masyarakat miskin tidak boleh menjadi alasan pembenar untuk mengalihkannya pada BLT.

Meski BLT diberikan, terlepas dari berbagai polemik yang menyertainya, program kompensasi lain untuk meningkatkan pelayanan publik jangan sampai terhambat. Apalagi sampai mengurangi dana untuk peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan
bagi masyarakat miskin.

Munculnya keluhan-keluhan mengenai kualitas pelayanan publik, harus menjadi dorongan bagi pemerintah untuk memberikan jaminan hukum kepada masyarakat sekaligus alat “pemaksa” bagi penyelenggara pelayanan publik untuk memberikan pelayanan yang adil dan berkualitas. Selama ini, pelayanan publik yang telah dijalankan sejak
Indonesia merdeka, justru belum memiliki payung hukum yang memadai. Karena itu, Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang sudah disampaikan pemerintah kepada DPR dapat menjadi awal untuk upaya peningkatan pelayanan publik secara sistemik.

Selain itu, dana untuk peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan juga tak mungkin hanya mengandalkan dari kompensasi BBM. Pemerintah sudah waktunya mulai serius memikirkan meningkatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi 20 persen dari total APBN seperti yang diamanatkan konstitusi serta meningkatkan anggaran sektor
kesehatan yang jumlahnya kini tak lebih dari 8 persen. Dua sektor inilah yang berkaitan erat dengan kalangan miskin.

Bila hal-hal tersebut di atas dapat dilakukan oleh pemerintah, maka tekad untuk meningkatkan pelayanan publik terutama kepada kalangan masyarakat miskin dapat terwujud dengan baik. Semoga! ***

Penulis : Sad Dian Utomo

Tulisan ini dimuat pada Aliansi, Vol. 26 No. XXX Oktober - November 2005. ALIANSI diterbitkan oleh YAPPIKA bekerjasama dengan USC Canada sebagai media komunikasi penguatan masyarakat sipil di antara Jaringan Ornop, Para Aktivis dan Masyarakat Sipil untuk demokrasi.

No comments: