Selamat Datang.......

Ini adalah ruang terbuka bagi setiap orang yang yang tertarik, berminat atau bahkan terganggu dengan pelayanan publik yang diterimanya.
Kirimkan komentar, artikel, opini atau bahkan curhat anda di halaman ini.
Nikmati dan rasakan kebahagiaan berbagi, sehingga bersama-sama kita dapat mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.
Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada memaki dalam kegelapan...... ?

Saturday, February 24, 2007

MERANCANG PROGRAM BANTUAN UNTUK KAUM MISKIN: SEBUAH CATATAN

Kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005, termasuk minyak tanah dan solar yang harganya naik masing-masing 185,7 persen dan 104,8 persen (Kompas, 1 Oktober 2005) telah memicu berbagai kenaikan harga dan tarif lainnya. Keadaan ini menyebabkan rumah tangga miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengurangi dampak kenaikan harga tersebut terhadap masyarakat miskin dan hampir miskin, pemerintah kemudian mengeluarkan Inpres Nomor 12/2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Miskin, pada tanggal 10 September 2005.

“Program Dadakan” dan Dampaknya
Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau sekarang lebih populer disebut dengan istilah Subsidi Langsung Tunai (SLT) terkesan sebagai program “dadakan” yang hanya mengejar target waktu untuk meredam gejolak sosial akibat kenaikan harga BBM. Hal ini nampak dari sempitnya waktu yang tersedia untuk memverifikasi data rumah tangga miskin. BPS hanya punya waktu sekitar sebulan untuk mempersiapkan teknis Program SLT. Mulai dari mengkoordinasikan kegiatan penyiapan data rumah tangga miskin, sampai menyiapkan dan mendistribusikan kartu tanda pengenal rumah tangga miskin, serta memberikan akses data tersebut kepada instansi pemerintah lain yang melakukan kegiatan kesejahteraan sosial (G.A. Nasser, 2005). Maka tak heran jika isu yang kemudian mencuat ke permukaan adalah masalah pendataan yang berakibat pada ketidaktepatan sasaran, di samping ketidakpuasan masyarakat atas pendistribusian Program SLT. Ketidakpuasan ini bahkan diikuti oleh berbagai ancaman dan tindak kekerasan, baik kepada petugas BPS maupun pengurus lokal, seperti RT dan kelurahan.

Selain tindak kekerasan kepada aparat pemerintah, antrean panjang untuk mengambil dana SLT, juga telah mengakibatkan korban jiwa. Peristiwa tewasnya orang miskin saat berdesakan antre sedekah sudah pernah terjadi, khususnya saat bulan Ramadhan menjelang Lebaran. Seharusnya, pemerintah sudah bisa mengantisipasi bahwa antrean yang panjang, berdesakan dan dapat menimbulkan korban itu kemungkinan besar terulang dalam antrean pengambilan dana SLT. Sudah dapat dibayangkan bahwa akan ada ratusan, bahkan ribuan orang yang akan antre di setiap kantor pos. Tak ada persiapan khusus ketika juklak (petunjuk pelaksanaan) pengambilan dana SLT disebarkan ke kantor-kantor pos di seluruh Indonesia. Tragedi antrean pengambilan SLT yang menimbulkan korban jiwa telah melahirkan selorohan sarkastis dalam masyarakat. Program yang juga disebut BLT atau Bantuan Langsung Tunai ini, diplesetkan menjadi “Bantuan Langsung Tewas”.

Penanganan Pengaduan
Pemerintah mengakui ada enam titik kritis atau kelemahan yang harus dibenahi dalam pengucuran dana SLT tahap pertama. Keenam titik kritis tersebut meliputi: (1) proses pencacahan atau pendataan rumah tangga miskin; (2) proses penetapan direktori rumah tangga miskin; (3) proses pembagian KKB; (4) proses penyaluran dana; (5) proses sosialisasi; dan (6) proses penanganan pengaduan (Riau Pos Online, 2005).

Penanganan pengaduan tak lagi dapat dimaknai sekadar sebagai saluran kotak saran/pengaduan tanpa kejelasan penanganannya. Proses pengaduan harus berjalan berdasarkan suatu sistem/ mekanisme yang menjamin masyarakat dapat menyampaikan pengaduannya secara mudah dan murah, ada pejabat yang khusus menangani pengaduan, kejelasan waktu penyelesaiannya dan hasil akhir dari pengaduan tersebut, berupa kompensasi ganti rugi atau denda, ataupun perbaikan kebijakan dan pelaksanaan program.

Pengalaman PATTIRO dalam mengembangkan model mekanisme pengaduan terhadap pelayanan publik yang berbasis partisipasi masyarakat lokal di kota Semarang, Malang, dan Tangerang memperlihatkan bahwa mekanisme pengaduan merupakan aspek penting dalam pengelolaan pelayanan publik, seperti pendidikan, kebersihan, dan kesehatan. Di Semarang, program yang bekerja sama dengan pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat ini menunjukkan bahwa dengan adanya mekanisme pengaduan yang diatur dalam Surat Keputusan Walikota dan didirikannya Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5), maka banyak pengaduan masyarakat yang dapat ditindaklanjuti. Namun yang membedakan program berbasis partisipasi masyarakat ini dengan program-program yang bersifat top-down, adalah pelibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah dan perumusan kebijakan mengenai pelayanan publik dan mekanisme pengaduannya (seperti penyusunan Raperda di Malang). Selain itu, peranan elemen-elemen pemerintah lokal yang peduli terhadap masalah terkait juga diperlukan.

Berkaitan dengan Program SLT, pemerintah perlu segera mengoptimalkan fungsi infrastruktur pengaduan masyarakat di setiap tingkat pemerintahan dan daerah untuk menampung dan menyelesaikan berbagai pengaduan masyarakat menyangkut program SLT. Tentu saja, untuk hal ini pemerintah perlu melatih petugas penanganan pengaduan yang proaktif dan sensitif. Adanya mekanisme pengaduan yang jelas dapat memberikan umpan balik bagi pelaksanaan program pada tahap-tahap selanjutnya, selain menghindari munculnya berbagai aksi kekerasan dan gejolak sosial. Pengembangan mekanisme pengaduan ini juga sepatutnya membuka kesempatan bagi munculnya inisiatif lokal dalam penyelesaian masalah yang dihadapi.

Penutup
Adanya berbagai kendala di lapangan akibat sifat Program SLT yang “dadakan”, khususnya terkait dengan masalah pendataan, menunjukkan bahwa perencanaan dan desain yang baik adalah faktor penting dalam setiap upaya penanggulangan kemiskinan. Pengembangan mekanisme pengaduan yang baik dan melibatkan masyarakat lokal merupakan salah satu aspek yang perlu tercakup dalam rencana program karena dapat menjadi sarana umpan balik bagi perbaikan program selanjutnya.

Di waktu yang akan datang, “program-program dadakan” yang dirancang instan untuk mengurangi dampak dari kebijakan lainnya sepatutnya sudah tidak diimplementasikan lagi. Belajar dari kedaruratan Program SLT, maka pemerintah tidak perlu menunggu dulu persoalan menjadi genting, baru mengeksekusi “kebijakan dadakan”.***

Penulis: Mimin Rukmini dan Sad Dian Utomo

Tulisan ini dimuat dalam Newsletter Lembaga Penelitian SMERU 31 No. 17: Jan-Mar/2006. SMERU adalah sebuah lembaga penelitian independen yang melakukan penelitian dan pengkajian kebijakan publik secara profesional dan proaktif, serta menyediakan informasi akurat, tepat waktu, dengan analisis yang objektif mengenai berbagai masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia.

1 comment:

My Life & My Pattiro said...

sekarang gonjang-ganjing lagi tuh si minyak tanah dan gas...